Senin, 20 Januari 2014

Makalah Perkembangan Prenatal Dalam Perspektif Islam


PERKEMBANGAN PRENATAL DALAM
PERSPEKTIF ISLAM

Anggota Kelompok:
Ii’ Chariati                   (201110230311253)
Kurnia Prayana           (201110230311288)
Qory Damar W           (201110230311295)
Navy Tri Indah           (201110230311300)
Riris Rahmania            (201110230311307)


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2013


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
            Syukur Alhamdulillah kita panjatkan bersama kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, taufiq, dan hidayahnya, karena kita selalu di beri kesehatan sampai dengan sekarang sehingga dapat menyelesaikan makalah mata kuliah PDPI 1 ini yang berjudul perkembangan prenatal dalam perspektif islam. Penulisan laporan ini disusun sebagai salah satu tugas praktikum dari mata kuliah Psikologi dalam Perspektif Islam dengan tujuan menambah wawasan dalam materi PDPI.
            Dalam penulisan laporan ini, kami selaku penulis dapat menyadari masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak, dengan ini harapan kami semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan semua pihak.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Penyusun



PENDAHULUAN
BAB I

            Dewasa ini telah banyak sumber yang mengemukakan tentang perkembangan prenatal atau pra kehamilan terutama dalam berbagai bidang keilmuan, seperti kedokteran, psikologi dan lain-lain. Penemuan-penemuan tersebut digagas oleh beberapa ahli di bidangnya. Perkembangan prenatal pada umumnya semua mengalami periode-periode atau fase-fase yang sama. Bahkan teori-teori perkembangan prenatal menurut Hurlock dan Santrock hampir sama. Maka dari itu perkembangan prenatal pasti dialami secara umum bagi para calon ibu.
            Terlepas dari keilmuan barat yang telah melakukan riset-riset tentang perkembangan janin. Para ilmuwan Islam juga memiliki hasil penelitian tersendiri terkait perkembangan janin pada masa prenatal. Ilmuwan islam tidak hanya berkiblat dari hasil riset namun mereka juga mendapatkan pengetahhuan dari ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang juga berisi tentang proses bagaimana manusia diciptakan.
            Tidak dapat dipungkiri bahwa Al-Qur’an sudah menjelaskan dengan jelas tentang perkembangan manusia dari awal pembuahan sampai akhir atau sampai kelahiran. Al-Qur’an menjelaskan tentang tahap-tahap bagaimana manusia diciptakan. Secara ilmu hasil riset pada penelitian psikologi perkembangan dapat dikomparasikan dengan hasil dari ilmuwan Islam yang juga mengungkap perkembangan masa prenatal berdasar sumber keislaman.
            Dari berbagai riset dan juga pengetahuan umum yang ada, maka penulis ingin mengungkap bagaimana hasil-hasil riset tersebut jika dipandang dari perspektif Islam mengenai proses-proses perkembangan manusia atau proses penciptaan manusia.


Rumusan Masalah
1.      Bagaimana tahap perkembangan prenatal dalam segi psikologi perkembangan?
2.      Bagaimana perkembangan prenatal dalam psikologi perkembangan jika ditinjau dari perspektif Islam?
Tujuan
1.      Untuk mengetahui tahap-tahap prenatal dalam segi psikologi perkembangan.
2.      Untuk mengetahui bagaimana perkembangan prenatal dalam psikologi perkembangan jika ditinjau dari perspektif Islam.














BAHASAN
       I.            PERKEMBANGAN PRAKELAHIRAN
            Manusia secara umum memulai hidup dengan cara yang sama. Semua diawali dengan proses bergabungnya sel sperma dan sel ovum untuk membentuk sel tunggal. Ada beberapa tahap dalam perkembangan pra kelahiran menurut Santrock dalam Life Span Development yaitu:
1.      Periode Germinal
Periode germinal adalah periode 2 minggu pertama setelah pembuahan. Meliputi penciptaan zigot yang dilanjutkan dengan pemecahan sel dan melekatnya zigot ke dinding kandungan.
2.      Periode Embrionis
Periode embrionis adalah periode perkembangan prakelahiran yang terjadi dari 2 sampai 8 minggu setelah pembuahan. Embrio terbagi menjadi tiga lapisan system dukungan kehidupan berkembang dan dalam fase ini organ-organ mulai tampak.
3.      Periode Fetal
Periode fetal adalah periode perkembangan prakelahiran yang mulai 2 bulan setelah pembuahan dan pada umumnya berlangsung selama 7 bulan. Sistem organ semakin matang hingga pada titik di mana kehidupan dapat bertahan di luar kandungan.
            Sedangkan tahap perkembangan embrio menurut Carolyn, 2012 dalam Understand Child Development meliputi:
1.      Minggu 4-5: embrio masih berukuran sebesar kacang. Namun hati yang baru terbentuk mulai berdetak, lengan serta kaki mulai tumbuh dibagian samping tubuh.
2.      Minggu 6-7: embrio berukuran 8 mm dan tunas lengan serta kaki mulai terlihat seperti lengan dan kaki yang utuh, hati yang berdetak sudah dapat terlihat melalui scan ultrasound.
3.      Minggu 8-9: bayi yang belum lahir disebut fetus dan berukuran 2cm. Jempol dan jari-jari lain mulai terbentuk. Organ penting seperti otak, paru-paru, hati dan lambung mulai berkembang secara cepat.
4.      Minggu 10-14: fetus/ janin berukuran 7cm dan pembentukan semua organ telah komplet. Pada minggu ke-12 bayi mulai terbentuk secara utuh dan bertumbuh besar. Bagian atas rahim ibu biasanya dapat dirasakan di tulang pelvic.
5.      Minggu 15-22: janin telah berukuran cukup besar sehingga gerakannya dapat dirasakan oleh ibu. Pada minggu ke-22 selaput pelindung berminyak dan berwarna putih (vernix caseosa) mulai terbentuk dan janin dilapisi oleh bulu halus yang dinamakan lanugo.
6.      Minggu ke 23-30: bayi diselimuti vernix caseosa dan bulu lanugo biasanya telah menghilang. Dari minggu ke-28 sudah mampu bergerak, dan apabila lahir saat itu juga, ada kemungkinan janin akan hidup.
7.      Minggu ke 31-40: janin mulai menggemuk dan siap untuk lahir.
    II.            FASE PERKEMBANGAN PRAKELAHIRAN DALAM PERSFEKTIF ISLAM
 ‘’Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, ‘Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam busuk yang berubah, maka apabila Aku telah menyempurnkan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalam ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.’’ (QS.Al-Hijr: 28-29)
12.‘’Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah
13. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).
14. Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik’’.
(Al-Mu’minuun:12-14)

Ayat serupa yang menjelaskan tentang awal mula penciptaan manusia juga terdapat pada Al-Qur’an surat Al-imron: 59, Ar-rum: 20, Al-furqan: 45, Al-mu’minun: 12, Ar-rahman: 14, dan Al-ankabut: 20, Shad: 71-72.
Manusia pertama dimuka bumi adalah Adam as. Yang diciptakan Allah swt. Dari tanah (tanah liat/tembikar), setelah itu manusia berkembang dan memiliki keturunan keturunan dimuka bumi ini. Adapun beberapa fase pencitaan manusia (janin) setelah nabi Adam as. dan juga Hawa berada dimuka bumi yaitu:
Fase pembentukan (perkembangan) janin menurut Al-qur’an surat Al-mu’minuun ayat 12-14 seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
1)      Fase nutfah
‘’Sesengguhnya Kami telah menciptakan manusia dari nutfah yang bercampur…’’. (Qs. Al-insan: 2)
Yaitu fase dimana manusia diciptakan dari air mani. Manusia tidak diciptakan dari mani yang lengkap akan tetapi dari sebagian kecilnya atau yang sering disebut juga dengan sulaalah yang membentuk jaringan sangat tipis.
‘’Kemudian Kami jadikan sari pati itu nutfah (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh’’. (Qs. Al-mu’minun: 13)
Setelah pencampuran nutfah Allah swt. Menanamkan nutfah pada tempat yang kokoh. Tempat yang kokoh yang dimaksud ayat ini adalah rahim, dalam rahim sorang ibu terdapat ikatan-ikatan sendi yang kuat sehingga nutfah dapat terlindungi dari semua pengaruh eksternal, terdapat fasiliata yang lengakap didalam Rahim seorang ibi seperti fasilitas makan, serta peti yang kuat dan besar untuk menahan beratnya ketika semakin lama berkembang yaitu panggul. Atas dasar inilah para ulama zaman dahulu menafsirkan kata-kata kokoh pada ayat ini. Sesesorang ibu pada keadaan biasa memiliki struktur sendi yang kaku dan keras. Namun, berkat ke Esa-an Allah swt. Sendi-sendi tersebut melunak dan menjadi elastis, hal ini dapat memungkinkan tulang ekor dapat berputar kedepan dan kebelakang serta pada saat melahirkan tulang terakhir turun kebagian teratas tulang ekor untuk mendorong sedikit kebelakang. Dan dengan turunya kepala bayi, bagian teratas tulang ekor kembali ketempatnya semula. tidak diragukan lagi bahwa sendi-sendi tersebut diikat oleh ikatan khusus yang memiliki struktur kuat dan susunan sempurna yang bisa mengubah tulang-tulang panggul yang beragam menjadi kotak yang kokoh, memilki atap, lantai, dan dinding yang tebal. Adapun pengikat tulang ekor dan tulang pinggul adalah selaput dari serabut datar yang melindungi rongga panggul dari kedua sisinya.
‘’Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan) mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah  dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu…’’. (Qs. An-najm: 32)

2)      Fase alaqah
‘’Kemudian air mani itu Kami jadikan alaqah…” (Qs. Al-mu’minun: 14)
Kata kemudian pada ayat ini adalah satu-satunya kata sambung yang menunjukkan fase perpindahan dalam pembentukan manusia. Kata kemudian juaga mennunjukkan urutan yang memiliki makna berbeda dengan kata dan atau kata maka dalam fiman-Nya, ‘’Maka ‘alaqah itu Kami jadikan mudhghah…’’. (Qs. Al-mu’minun: 14)
Dalam bahasa Arab, arti kata "'alaq" atau "segumpal darah" adalah "benda yang melekat pada suatu tempat". Secara harfiah, kata tersebut digunakan untuk menjelaskan lintah yang menempel pada kulit untuk mengisap darah. Jelas, itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan zigot yang melekat pada dinding rahim untuk menyerap makanan darinya. Dalam kamus besar Al-mishbah al-munir alaqah disebut sebagai air mani yang berpindah ke fase lain dan berubah menjadi darah yang kasar dan membeku. Lalu mani ini berpindah ke fase lain dan menjadi daging. Mudhghah pada ayat diatas memiliki fase terpisah dengan alaqah.

3)      Fase mudhghah
‘’…Maka alaqah itu Kami jadikan mudhghah. Dan segumpal daging (mudhghah) itu Kami jadikan tulang belulang. Lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging…” (Qs. Al-mu’minun: 14).
Mudhghah adalah fase perpindahan menjadi sesuatu yang tersusun dari tiga lapisan: lapisan luar, lapisan tengah, lapisan dalam. Lapisan-lapisan ini akan membentuk jaringan dan organ manusia yang secara total terpisah satu dendan yang lainya akan tetapi saling terdantung dan berkaitan.
‘’Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah kemudian dari nutfah, kemudian dari alaqah, kemudian dari mudhghah yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam Rahim apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan…” (Qs. Al-haj: 5)
4)      Fase tulang dan daging
Allah swt. Berfirman, “…Dan mudhghah itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging…” (Qs. Al-mu’minun: 14)
Setelah fase mudhghah tulang belulang langsung muncul pada janin sebagai poros pertama yang menjadi pusat bagian penyangga yakni tulang belakang. Mukjizat yang luarbisa dapat dilihat dari kemunculan tulang belulang sebelum adanya daging. Tidak lama kemudian muncul otot dan daging disekitarnya. Bagian-bagian tubuh janin terlihat sedikit demi sedikit pada fase ini sehingga ia menjadi makhluk yang berbentuk lain setelah kelahiran.
“…Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci Allah, Pencipta yang Paling Baik”. (Qs. Al-mu’minun: 14) dan,
“Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasanagan pria dan wanita. Dari nutfah, apabila dipancarkan”. (Qs. An-najm: 45-46)
Pada akhir fase pekembangan manusia Allah swt. Meniupkan ruh. Para ulama umumnya mengataka bahwa ruh ditiupkan pada janin ketika berusia 120 hari, sejak dari terbentuknya. Dalil-dalil yang dikemukakan cukup banyak, di antaranya adalah: Dari Abdullah bin Mas’ud ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya setiap kamu dibentuk di perut ibunya selama 40 hari, kemudian berbentuk ‘alaqah seperti itu juga, kemudian menjadi mudhghah seperti itu juga. Kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh dan menetapkan 4 masalah…. {HR. Bukhari, Ibnu Majah, At-Tirmizy}

KESIMPULAN
Penciptaan manusia pada setiap fasenya adalah bukti kekuasan Allah swt. Yang telah ditegaskan dan dijelaskan pada banayak ayat dalam Al-quran. beberapa informasi dalam ayat-ayat ini sangatlah terperinci sehingga mustahil bagi orang yang hidup pada abad ke-7 untuk mengetahui termasuk para ilmuan barat yang mendeklarasikan penemuan-penemuanya terkait perkembangan janin karna jauh sebelum mereka ada Al-qur’an sudah terlebih dahulu membahasnya secara lengkap dan mendetai berdasarkan fiman Allah swt.
Adapun ruh yang telah di singgung pada akhir pembahasan oleh para ilmuan belum mendapatkan titik terang atau ilmuan belum menjangkau akan adanya jiwa atau kapan munculnya jiwa pada janin. Hal ini membuktikan bahwa landasan akan ilmu-ilmu yang ada dimuka bumi ini merujuk pada Al-qur’an yang menjadikan penciptaan/perkembangan janin menjadi salah satu bukti otentik akan dasar keilmuan.
Jika pada teori-teori barat atau teori perkembangan menjelaskan secara rinci terkait waktu-waktu pembentukannya, maka dalam Al-qur’an hannya disebutkan fase-fase dengan tidak dijelaskannya waktu-waktu terbentuknya janin serta organ-organya.


DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ary Ginanjar. 2007. ESQ Power. Jakarta: Arga
Al-Qur’annulkarim
Hude, M. Darwis. 2006. Emosi Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi Manusia di dalam Al-Qur’an. Jakarta: Erlangga
Jalaluddin. 1998. Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo
Meggitt, Carolyn. 2012. Memahami Perkembangan Anak. Jakarta: Indeks
Santrock, W. J. 2002. Life Span Development Edisi kelima. Jakarta: Erlangga
Shohib, Muhammad dkk. 2007. Miracle The Reference. Bandung: Sygma Publishing
Washfi, Muhammad. 2008. Menguak Rahasia Ilmu K edokteran dan Al-qur’an. Surakarta: Indiva Mediakreasi

Yasin, M. Nu’aim. 2001. Fikiqih Kedokteran. Jakarta: Pustaka Al-kautsar

Makalah Psikologi Industri dan Organisasi Dalam Perspektif Islam

PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI
DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Nama :
Dicki Panji Wicaksono             201110230311293
Dwi Marta Viki S                    201110230311277
Akhmad Musa AK                  201110230311252
M.Ferdiansyah                         201110230311259
Aprilia Suwandhi                     201110230311289

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
MALANG
2013
Psikologi Islam Industri dan Organisasi Terapan
   Mukaddimah
            “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Qur’an, dan Dia tidak membuat sesuatu yang tidak lurus di dalamnya. Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan (manusia) akan siksa yang pedih dari Allah dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman, yang mengerjakan  amal soleh, bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik. Mereka (akan menikmati kehidupan sorga)  kekal di dalamnya untuk selamanya”(al-Kahfi:1-3)
            Al-Qur’an adalah pedoman begi manusia yang ingin memilih jalan kebenaran daripada jalan kesesatan (al-Baqarah :185), pembimbing (guidance) untuk membina ketakwaan (al-Baqarah: 2). Namun, hidup yang taqwa bukan semata harapan atau angan-angan untuk meraih kebahagiaan, tetapi merupakan medan dan cara kerja yang sebaik-baiknya untuk merealisasikan kehidupan yang berjaya di dunia dan memperoleh balasan yang lebih baik lagi di akhirat (an-Nahl: 97).

            Bekerja adalah kodrat hidup, baik kehidupan spiritual, intelektual, fisik biologis, maupun kehidupan individual dan sosial dalam berbagai bidang (al-Mulk: 2). Seseorang layak untuk mendapatkan predikat yang terpuji seperti potensial, aktif, dinamis, produktif atau profesional, semata-mata karena prestasi kerjanya. Karena itu, agar manusia benar-benar “hidup”, dalam kehidupan ini ia memerlukan ruh (spirit). Untuk ini, Al Qur’an diturunkan sebagai “ruhan min amrina”,  yakni spirit hidup ciptaan Allah, sekaligus sebagai “nur” (cahaya) yang tak kunjung padam, agar aktivitas hidup manusia tidak tersesat (asy-Syura: 52).

Pembahasan

Menurut Peter F. Druicker dalam buku Robert G. Owens, budaya organisasi adalah pokok penyelesaian masalah-masalah ekternal dan internal yang pelaksanaannya dilakukan secara konsisten oleh suatu kelompok yang kemudian mewariskan pada anggota-anggota baru sebagai cara ynag tepat untuk memahami, mamikirkan dan merasakan terhadap  berbagai masalah.
Sedangkan di sisi lain, Phithi Sithi Amnuai dalam tulisannya How to Build a Corporation Culture dalam majalah Asia Manajer (September 1989) menyebutkan bahwa budaya organisasi adalah seperangkat asumsi dasar dan keyakinan yangdianut oleh anggota-anggota morganisasi, kemudian dikembangkan dan diwariskan guna mengatasi masalah-masalah adaptasi eksternal dan masalah integrasi internal.

Jenis-jenis budaya organisasi

1.    Berdasarkan Proses informasi
Robert             E. Quinn dan Michael R. McGrath (dalam buku Arie Indra Chandra) membagi budaya organisasi berdasarkan proses informasi sebagai berikut
a.    Budaya Rasional
Dalam budaya ini, proses informasi individual (kalrifikasi sasaran pertimbangan logika, perangkat pengarahan) diasumsikan sebagai sarana abagi tujuan kinerja yang ditunjukkan (efisiensi, produktifitas dan keuntungan atau dampak).
b.    Budaya Ideologis
Dalam budaya ini, pemrosesan informasi intuitif (dari pengetahuan yang dalam, pendapat dan inovasi) diasumsikan sebagai sarana bagi tujuan revitalisasi (dukungan datri luar, perolehan sumber daya dan pertumbuhan).
c.    Budaya Konsensus
Dalam budaya ini, pemrosesan informasi kolektif (diskusi, partisipatif dan konsensus) diasumsikan untuk menjadi sarana bagi tujuan kohesi (iklim, moral dan kerjasama kelompok).
d.    Budaya Hierarkis
Dalam budaya ini, pemrosesan informasi formal (dokumetasi, komputasi dan evaluasi) diasumsikan sebagai sarana bagi tujuan kesinambungan (stabilitas, kontrol dan koordinasi). 

2.    Berdasarkan Tujuan
Talidzuduhu Ndraha membagi budaya organisasi berdasarkan tujuannya, yaitu
a.    Budaya organisasi Perusahaan
b.    Budaya organisasi Publik
c.    Budaya organisasi Sosial


Pembentukan Budaya Organisasi

1.    Unsur-unsur pembentuk Organisasi
Deal & Kennedy dalam bukuhya Corporate Culture: The Roles and Ritual of Corporate, membagi unsur penbentuk budaya organisasi sebagai berikut.
a.    Lingkungan usaha
Kelangsungan hidup suatu organisasi (perusahaan) ditentukan oleh kemampuan perusahaan memberi tanggapan yang tepat terhadap peluang dan tantangan lingkungan, yang di antaranya antara lain meliputi produk yang dihasilkan, pesaing, pelanggan, teknologi pemasok, kebijakan pemerinhtah dan lain-lain.
b.    Nilai-nilai
Yaitu keyakina dasar yang diahut oleh sebuah organisasi. Nilai-nilai inti yang dianut bersasma oleh anggota organisasi antara lain dapat berupa slogan atau motto yang dapat berfungsi sebagai
·    Jati diri
·    Harapan konsumen 
c.    Pahlawan
Yaitu tokoh yang dipandang berhasil mewujudkan nilai-nilai budaya dalam kehidupan nyata. Pahlawasn bisa berasal dari pendiri perusahaan, manajer, kelompok organisasi atau perorangan yang berhasil menciptakan nilai-nilai organisasi .
d.    Ritual
Stepen P. Robbins medefinisikan ritual sebagai deretan berulang dari kegiatan yang mengungkapkan dan memperkuat nilai-nilai utama organisasi tersebut.
e.    Jaringan budaya
Yaitu jaringan komunikasi informal yang pada dasarnya merupakan aturan informasi primer. Fungsinya menyalurkan infomasi dan melakukan interpretasi terhadap informasi. 

2.    Proses pembentukan budaya organisasi 
Secara teoritis, proses bagaimana suatu perusahaan terbentuk telah dijelaskan oleh Schein dalam bukunya Organizational Culture and Leadership. Menurut beliau, terbentuknya suatu budaya organisasi dapat dianalisis dari tiga nilai sebagai berikut.
a.    Teori Sociodinamic
Teori ini menitikberatkan pengamatan secara detail mengenai kelompok pelatihan, kelompok terapi dan kelompok kerja yang mempunyai proses interpersonal dan emosional guna membantu menjelaskan apa yang dimaksud dengan share dalam pandangan yang sama dari suatu masalah dan mengembangkan share tersebut.
b.    Teori Kepemimpinan
Teori ini menekankan hubungan atara pemimpin dengan kelompok dan efek personalitas dan gaya kepemimpinan terhadap formasi kelompok yang sangat relevan dengan pengertian bagaimana budaya organisasi tersebut terbentuk.
c.    Teori Perkembangan (Learning Theory)
Teori ini menekankan pada informasi tentang bagaimana kelompok mempelajari kognitif, perasaan dan penilaian, yang secara struktural dibagi menjadi dua tipe pembelajaran.
·    Situasi penyelesaian masalah secara positif
·    Situasi menghindari kegelisahan

Proses pembelajaran dimaksudkan untuk pewarisan budaya organisasi kepada anggota baru dan organisasi.Keyakinan Dan Nilai-Nilai Budaya Organisasi Saskhein dan Kisher (dalam buku Jeny Eoh, 2001) mengemukakan bahwa budaya organisasi terdiri dari dua komponen, yaitu:
1.    Nilai (value), yaitu sesuatu yang diyakini oleh warga organisasi untuk mengetahui apa yang benar dan apa yang salah.
2.    Keyakinan (belief), yaitu sikap tentang cara bagaimana seharusnya bekerja dalam organisasi.

Sedangkan Davis (dalam buku Jeny Eoh, 2001) mengemukakan bahwa dalam budaya perusahaan terdapat dua macam keyakinan, yaitu
1.    Keyakinan bimbingan (guiding belief), yaitu menentukan visi, misi dan nilai-nilai dasar organisasi.
2.    Keyakianan harian, yaitu mencirikan cara kegiatan dalam organisasi harus dilakukan: cara berkomunikasi, pengambilan keputusan dan cara kotrol dilakukan.




Nilai dasar budaya organisasi

Nilai yang dianut seseorang mempengaruhi tingkah lakunya. Dan dalam sebuah organisasi, nilai yang dianut seorang anggota akan mempengaruhi tingkah lakunya dalam berinteraksi dengan anggota lain maupun dalam melaksanakan tugas
Miller (1987) dalam bukunya Manajemen era baru: Beberapa pandangan mengenai budaya perusahaan, menyatakan bahwa dalam perusahaan terdapat dua nilai, yaitu:

1.    Nilai Utama (primer)
Nilai utama ini berkaitan dengan dengan inovasi besar, ketaatan dan produktifitas. Nilai utama terdiri atas delapan unsur:
î    Asas tujuan
î    Asas consensus
î    Asas Keunggulan
î    Asas Kesatuan
î    Asas prestasi
î    Asas Empirisme
î    Asas keakraban
î    Asas integritas

2.    Nilai Sekunder
Miller menyebut nilai sekunder sebagai sifat-sifat variabel bisnis dan membaginya menjadi enam unsur sebagai berikut:
î    Terfokus pada pelanggan/terfokus pada produk
î    Pengendalian yang disiplin/pengendalian yang hilang
î    Kewiraswastaan yang telah terbukti benar
î    Pengambilan keputusan yang cepat/pengambilan keputusan yang lambat
î    Fokus jangka pendek/fokus jangka panjang 
î    Teknologi canggih/sederhana

    Keterkaitan antara pembagian kerja, departemen, hierarki, dan koordinasi

a.      Pengembangan kerja (division of work)
Pengembangan krja adalah upaya untuk menyederhanakan dari keseluruhn kegiatan dan pekerjaan (yang telah disusun dalam proses perencanaan) yang mungkin saja bersifat kompleks menjadi lebih sederhana dan spesifik dimana setiap orang akan ditempatkan dan ditugaskan untuk setiap kegiatan yang sederhana dan spesifik tersebut.[3]
Kadangkala pembagian kerja dinamakan dengan pembagian tenaga kerja, namun lebih sering digunakan pembagian kerja karena yang dibagi-bagi adalah pekerjaannya, bukan orangnya.
1)      Keuntungan dari spesialisasi pekerjaan
Pada umumnya produktifitas akan dapat diperoleh denga adanya spesialisasi kerja, misalnya dalam pendidikan, ilmu pengetahuan dan mengapa hal ini terjadi adalah karena tidak seorangpunyang dapat mengerjakan semua pekerjaan dengan hasil yang sama tingginya.
2)      Spesialisasi dan kepuasan pekerjaan
Spesialisasi kerja memang lebih meningkatkan produktifitas terutama pada pekerjaan yang telah dipecah dalam satu egiatan kecil yang rutin. Tetapi semakin spesifik akan membuat seseorang seperti mesin dan tidak manusiawi dan akan memberi dampak kepuasan kerja mereka.
Ada 2 dimensi yang menunjukkan suatu spesialisasi pekerjaan yaitu:
1)      Job depth (kedalam pekerjaan)
Menunjukkan seberapa jauh seseorang diberi wewenang untuk mengontrol pekerjaannya, misalnya ada pilihan dalam kecepatan dan pilihan cara mengerjakannya.
2)      Job scope (perluasan kerja)
Menunjukkan seberapa banyak seseorang diberi tugas dalam bekerja.
Contoh dari pembagian kerja misalnya pembagian tugas dalam bisnis restoran, pembagian kerja dapat berupa pembagian kerja untuk bagian dapur, pelayanan pelanggan di meja makan, asir, dan lain sebagainya
b.      Pengelompokan pekerjaan (Departementalization)
Setelah pekerjaan dispesifikkan, maka kemudian pekerjaan-pekerjaan tersebut dikelompokkan berdasarkan kriteria tertentu yang sejenis.
Pengelompokkan pekerjaan atau departementalisasi pada dasarnya adalah proses pengelompokkan dan penanaman bagian atau kelompok pekerjaan berdasarkan kriteria tertentu.
Sebagai contoh, untuk bisnis restoran: pencatatan menu, pemberitahuan menu kepada bagian dapur, hingga pengiriman makanan dari bagian dapur kepada pelanggan dimeja makan dapat dikelompokkan menjadi satu departemen tertentu, katakanlah bagian pelayan.
c.       Penentuan relasi antar bagian dalam organisasi (Hierarki)
Hierarchy adalahproses penentuan relasi antar bagian dalam organisasi, baik secara vertical maupun horizontal.
Terdapat 2 konsep penting dalam hierarcy, yaitu:
1)      Span of managemen control atau span of control
Span of manageman control terkait dengan jumlah orang atau bagian di bawah suatu departemen yang akan bertanggung jawab kepada departemen atau bagian tertentu.
2)      Chain of command
Chain of command juga menunjukkan garis perintaha dalam sebuah organisasi dari hierarki yang paling tinggi misalnya hingga hierarki yang paling rendah. Chain of command juga menjelaskan bagaimana batasan kewenangan dibuat dan siapa dan bagian mana yang akan melaporkan ke bagian mana.
d.      Koordinasi (Coordination)
Koordinasi adalah proses dalam mengintegrasikan seluruh aktifitas dari berbagai departemen atau bagian dalam organisasi agar tujuan organisasi  dapat tercapai secara efektif.

Posisi Kerja dalam Kitabullah
            Al-Qur’an menyebut kerja dengan berbagai terminologi. Al-Qur’an menyebutnya sebagai “amalun”, terdapat tidak kurang dari 260 musytaqqat (derivatnya), mencakup pekerjaan lahiriah dan batiniah. Disebut “fi’lun” dalam sekitar 99 derivatnya, dengan konotasi pada pekerjaan lahiriah. Disebut dengan kata “shun’un”, tidak kurang dari 17 derivat, dengan penekanan makna pada pekerjaan yang menghasilkan keluaran (output) yang bersifat fisik. Disebut juga dengan kata “taqdimun”,  dalam 16 derivatnya, yang mempunyai penekanan makna pada investasi untuk kebahagiaan hari esok.
            Pekerjaan yang dicintai Allah SWT adalah yang berkualitas. Untuk menjelaskannya, Al Qur’an mempergunakan empat istilah: “Amal Shalih”, tak kurang dari 77 kali; ‘amal yang “Ihsan”, lebih dari 20 kali; ‘amal yang “Itqan”, disebut 1 kali; dan ”al-Birr”, disebut 6 kali. Pengungkapannya kadang dengan bahasa perintah, kadang dengan bahasa anjuran. Pada sisi lain, dijelaskan juga pekerjaan yang buruk dengan akibatnya yang buruk pula dalam beberapa istilah yang bervariasi. Sebagai contoh, disebutnya sebagai perbuatan syaitan (al-Maidah: 90, al-Qashash:15), perbuatan yang sia-sia (Ali Imran: 22, al-Furqaan: 23), pekerjaan yang bercampur dengan keburukan (at-Taubah:102), pekerjaan kamuflase yang nampak baik, tetapi isinya buruk (an-Naml:4, Fusshilat: 25).
Al-Qur’an sebagai pedoman kerja kebaikan, kerja ibadah, kerja taqwa atau amal shalih, memandang kerja sebagai kodrat hidup. Al-Qur’an menegaskan bahwa hidup ini untuk ibadah (adz-Dzariat: 56). Maka, kerja dengan sendirinya adalah ibadah, dan ibadah hanya dapat direalisasikan dengan kerja dalam segala manifestasinya (al-Hajj: 77-78, al-Baqarah:177).
Jika kerja adalah ibadah dan status hukum ibadah pada dasarnya adalah wajib, maka status hukum bekerja pada dasarnya juga wajib. Kewajiban ini pada dasarnya bersifat individual, atau fardhu ‘ain, yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Hal ini berhubungan langsung dengan pertanggung jawaban amal yang juga bersifat individual, dimana individulah yang kelak akan mempertanggung jawabkan amal masing-masing. Untuk pekerjaan yang langsung memasuki wilayah kepentingan umum, kewajiban menunaikannya bersifat kolektif atau sosial, yang disebut dengan fardhu kifayah, sehingga lebih menjamin terealisasikannya kepentingan umum tersebut. Namun, posisi individu dalam konteks kewajiban sosial ini tetap sentral. Setiap orang wajib memberikan kontribusi dan partisipasinya sesuai kapasitas masing-masing, dan tidak ada toleransi hingga tercapai tingkat kecukupan (kifayah) dalam ukuran kepentingan umum.
Syarat pokok agar setiap aktivitas  kita bernilai ibadah ada dua, yaitu sebagai berikut.
Pertama, Ikhlas, yakni mempunyai motivasi yang benar, yaitu untuk berbuat hal yang baik yang berguna bagi kehidupan dan dibenarkan oleh agama. Dengan proyeksi atau tujuan akhir meraih mardhatillah (al-Baqarah:207 dan 265).
Kedua, shawab (benar), yaitu sepenuhnya sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh agama melalui Rasulullah saw untuk pekerjaan ubudiyah (ibadah khusus), dan tidak bertentangan dengan suatu ketentuan agama dalam hal muamalat (ibadah umum). Ketentuan ini sesuai dengan pesan Al-Qur’an (Ali Imran: 31, al-Hasyr:10).
            Ketika kita memilih pekerjaan, maka haruslah didasarkan pada pertimbangan moral, apakah pekerjaan itu baik (amal shalih) atau tidak. Islam memuliakan setiap pekerjaan yang baik, tanpa mendiskriminasikannya, apakah itu pekerjaan otak atau otot, pekerjaan halus atau kasar, yang penting dapat dipertanggungjawabkan secara moral di hadapan Allah. Pekerjaan itu haruslah tidak bertentangan dengan agama, berguna secara fitrah kemanusiaan untuk dirinya, dan memberi dampak positif secara sosial dan kultural bagi masyarakatnya. Karena itu, tangga seleksi dan skala prioritas dimulai dengan pekerjaan yang manfaatnya bersifat primer, kemudian yang mempunyai manfaat pendukung, dan terakhir yang bernilai guna sebagai pelengkap.
B.     Kualitas Etik Kerja
            Al-Qur’an menanamkan kesadaran bahwa dengan bekerja berarti kita merealisasikan fungsi kehambaan kita kepada Allah, dan menempuh jalan menuju ridha-Nya, mengangkat harga diri, meningkatkan taraf hidup, dan memberi manfaat kepada sesama, bahkan kepada makhluk lain. Dengan tertanamnya kesadaran ini, seorang muslim atau muslimah akan berusaha mengisi setiap ruang dan waktunya hanya dengan aktivitas yang berguna. Semboyangnya adalah “tiada waktu tanpa kerja, tiada waktu tanpa amal.’  Adapun agar nilai ibadahnya tidak luntur, maka perangkat kualitas etik kerja yang Islami harus diperhatikan.
Berikut ini adalah kualitas etik kerja yang terpenting untuk dihayati.
       1.         Ash-Shalah (Baik dan Bermanfaat)
Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan yang baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu maupun kelompok. “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya.(al-An’am: 132)
Ini adalah pesan iman yang membawa manusia kepada orientasi nilai dan kualitas. Al Qur’an menggandengkan iman dengan amal soleh sebanyak 77 kali. Pekerjaan yang standar adalah pekerjaan yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat, secara material dan moral-spiritual. Tolok ukurnya adalah pesan syariah yang semata-mata merupakan rahmat bagi manusia. Jika tidak diketahui adanya pesan khusus dari agama, maka seseorang harus memperhatikan pengakuan umum bahwa sesuatu itu bermanfaat, dan berkonsultasi kepada orang yang lebih tahu. Jika hal ini pun tidak dilakukan, minimal kembali kepada pertimbangan akal sehat yang didukung secara nurani yang sejuk, lebih-lebih jika dilakukan melalui media shalat meminta petunjuk (istikharah). Dengan prosedur ini, seorang muslim tidak perlu bingung atau ragu dalam memilih suatu pekerjaan.
       2.         Al-Itqan (Kemantapan atau perfectness)
Kualitas kerja yang itqan atau perfect merupakan sifat pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang islami (an-Naml: 88). Rahmat Allah telah dijanjikan bagi setiap orang yang bekerja secara itqan, yakni mencapai standar ideal secara teknis. Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang optimal. Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih. Suatu keterampilan yang sudah dimiliki dapat saja hilang, akibat meninggalkan latihan, padahal manfaatnya besar untuk masyarakat. Karena itu, melepas atau menterlantarkan ketrampilan tersebut termasuk perbuatan dosa. Konsep itqan memberikan penilaian lebih terhadap hasil pekerjaan yang sedikit atau terbatas, tetapi berkualitas, daripada output yang banyak, tetapi kurang bermutu (al-Baqarah: 263).
       3.         Al-Ihsan (Melakukan yang Terbaik atau Lebih Baik Lagi)
Kualitas ihsan mempunyai dua makna dan memberikan dua pesan, yaitu sebagai berikut.
Pertama, ihsan berarti ‘yang terbaik’ dari yang dapat dilakukan.
Dengan makna pertama ini, maka pengertian ihsan sama dengan ‘itqan’. Pesan yang dikandungnya ialah agar setiap muslim mempunyai komitmen terhadap dirinya untuk berbuat yang terbaik dalam segala hal yang ia kerjakan.
Kedua ihsan mempunyai makna ‘lebih baik’ dari prestasi atau kualitas pekerjaan sebelumnya. Makna ini memberi pesan peningkatan yang terus-menerus, seiring dengan bertambahnya pengetahuan, pengalaman, waktu, dan sumber daya  lainnya. Adalah suatu kerugian jika prestasi kerja hari ini menurun dari hari kemarin, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits Nabi saw. Keharusan berbuat yang lebih baik juga berlaku ketika seorang muslim membalas jasa atau kebaikan orang lain. Bahkan, idealnya ia tetap berbuat yang lebih baik, hatta ketika membalas keburukan orang lain (Fusshilat :34, dan an Naml: 125)
Semangat kerja yang ihsan ini akan dimiliki manakala seseorang bekerja dengan semangat ibadah, dan dengan kesadaran bahwa dirinya sedang dilihat oleh Allah SWT.
       4.         Al-Mujahadah (Kerja Keras dan Optimal)
Dalam banyak ayatnya, Al-Qur’an meletakkan kulaitas mujahadah dalam bekerja pada konteks manfaatnya, yaitu untuk kebaikan manusia sendiri, dan agar   nilai guna dari hasil kerjanya semakin bertambah. (Ali Imran: 142, al-Maidah: 35,              al-Hajj: 77, al-Furqan: 25,  dan al-Ankabut: 69).
Mujahadah dalam maknanya yang luas seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah ”istifragh ma fil wus’i”, yakni mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam merealisasikan setiap pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai mobilisasi serta optimalisasi sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan fasilitas segala sumber daya yang diperlukan melalui hukum ‘taskhir’, yakni menundukkan seluruh isi langit dan bumi untuk manusia (Ibrahim: 32-33). Tinggal peran manusia sendiri dalam memobilisasi serta mendaya gunakannya secara optimal, dalam rangka melaksanakan apa yang Allah ridhai.
Bermujahadah atau bekerja dengan semangat jihad (ruhul jihad) menjadi kewajiban setiap muslim dalam rangka tawakkal sebelum menyerahkan (tafwidh) hasil akhirnya pada keputusan Allah (Ali Imran: 159, Hud: 133).
       5.         Tanafus dan Ta’awun (Berkompetisi dan Tolong-menolong)
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam kualitas amal solih. Pesan persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan Qur’ani yang bersifat “amar” atau perintah. Ada perintah “fastabiqul khairat” (maka, berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan) (al-Baqarah: 108). Begitu pula perintah “wasari’u ilaa magfirain min Rabbikum wajannah” `bersegeralah lamu sekalian menuju ampunan Rabbmu dan surga` Jalannya adalah melalui kekuatan infaq, pengendalian emosi, pemberian maaf, berbuat kebajikan, dan bersegera bertaubat kepada Allah (Ali Imran 133-135). Kita dapati pula dalam ungkapan “tanafus” untuk menjadi hamba yang gemar berbuat kebajikan, sehingga berhak mendapatkan surga, tempat segala kenikmatan (al-Muthaffifin: 22-26). Dinyatakan pula dalam konteks persaingan dan ketaqwaan, sebab yang paling mulia dalam pandangan Allah adalah insan yang paling taqwa (al Hujurat: 13). Semua ini menyuratkan dan menyiratkan etos persaingan dalam kualitas kerja.
Oleh karena dasar semangat dalam kompetisi islami adalah ketaatan kepada Allah dan ibadah serta amal shalih, maka wajah persaingan itu tidaklah seram; saling mengalahkan atau mengorbankan. Akan tetapi, untuk saling membantu (ta’awun). Dengan demikian, obyek kompetisi dan kooperasi tidak berbeda, yaitu kebaikan dalam garis horizontal dan ketaqwaan dalam garis vertikal (al-Maidah: 3), sehingga orang yang lebih banyak membantu dimungkinkan amalnya lebih banyak serta lebih baik, dan karenanya, ia mengungguli score kebajikan yang diraih saudaranya.
       6.         Mencermati Nilai Waktu
Keuntungan atau pun kerugian manusia banyak ditentukan oleh sikapnya terhadap waktu. Sikap imani adalah sikap yang menghargai waktu sebagai karunia Ilahi yang wajib disyukuri. Hal ini dilakukan dengan cara mengisinya dengan amal solih, sekaligus waktu itu pun merupakan amanat yang tidak boleh disia-siakan. Sebaliknya, sikap ingkar adalah cenderung mengutuk waktu dan menyia-nyiakannya. Waktu adalah sumpah Allah dalam beberapa ayat kitab suci-Nya yang mengaitkannya dengan nasib baik atau buruk yang akan menimpa manusia, akibat tingkah lakunya sendiri. Semua macam pekerjaan ubudiyah (ibadah vertikal) telah ditentukan waktunya dan disesuaikan dengan kesibukan dalam hidup ini. Kemudian, terpulang kepada manusia itu sendiri: apakah mau melaksanakannya atau tidak.
Mengutip al-Qardhawi dalam bukunya “Qimatul waqti fil Islam”: waktu adalah hidup itu sendiri, maka jangan sekali-kali engkau sia-siakan, sedetik pun dari waktumu untuk hal-hal yang tidak berfaidah. Setiap orang akan mempertanggung jawabkan usianya yang tidak lain adalah rangkaian dari waktu. Sikap negatif terhadap waktu niscaya membawa kerugian, seperti gemar menangguhkan atau mengukur waktu, yang berarti menghilangkan kesempatan. Namun, kemudian ia mengkambing hitamkan waktu saat ia merugi, sehingga tidak punya kesempatan untuk memperbaiki kekeliruan.
Jika kita melihat mengenai kaitan waktu dan prestasi kerja, maka ada baiknya dikutip petikan surat Khalifah Umar bin Khatthab kepada Gubernur Abu Musa           al-Asy’ari ra, sebagaimana dituturkan oleh Abu Ubaid, ”Amma ba’du. Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu terletak pada prestasi kerja. Oleh karena itu, janganlah engkau tangguhkan pekerjaan hari ini hingga esok, karena pekerjaanmu akan menumpuk, sehingga kamu tidak tahu lagi mana yang harus dikerjakan, dan akhirnya semua terbengkalai.” (Kitab al-Amwal, 10)

Penutup
Jihad Sebagai Etos
Ruhul jihad dalam bekerja mempersyaratkan mobilisasi dan optimalisasi pemberdayaan segenap potensi di jalan Allah untuk kebaikan setiap orang. Ruhul mujahadah menuntut kesabaran dan kontinyuitas kerja, bahkan menuntut tingkat kesabaran ekstra yang mampu mengungguli kesabaran para pesaing. Semua itu  didukung dengan ketekunan untuk murabathah, yakni pantang meninggalkan pekerjaan sebelum selesai (Ali Imran: 200). Ruhul jihad menolak setiap bentuk ketidakcermatan dalam memanajemen waktu yang begitu berharga; ketidak profesionalan dalam mengelola sumber daya yang demikian mahal. Dengan tegas pula, ia menolak setiap perasaan dan sikap lemah, malas dan kurang serius, mengandalkan pada kemampuan orang lain untuk menyelesaikan pekerjaan, lebih-lebih mencatut prestasi orang lain sebagai hasil karyanya. Sebab, cara ini analog dengan memakan harta orang lain secara batil (al Baqarah: 188 )
Secara teoritis, Kaum Muslimin mempunyai etos kerja yang demikian kuat dan mendasar, karena ia bermuara pada iman, berhubungan langsung dengan kekuatan Allah, dan merupakan persoalan hidup dan mati. Akan tetapi, tidak diingkari kalau kenyataannya masih ‘jauh panggang dari pada api’. Sebaliknya, Kaum Muslimin belum tahu kalau mereka itu mempunyai kekuatan etos kerja yang sangat dahsyat, dan ketika mereka melihat prestasi suatu bangsa atau umat lain, sebagian orang Islam salut dan terpana dengan etos kerja mereka, dan kadang sambil bertanya dengan agak sinis: Adakah etos kerja dalam Islam?
Maka, di sinilah Kaum Muslimin harus kembali kepada Islam secara benar dan mengambil semangat atau ‘apinya’. Karena, sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Islam adalah pangkal segala urusan hidup, tiang pancangnya shalat, dan ujung tombaknya adalah jihad.” (H.R.Thabrani)
Dengan ruhul jihad, setiap muslim akan mampu mengukir prestasi dengan penuh kegairahan, kemudian secara pasti akan mengembalikan ‘izzah atau harga dirinya, sehingga disegani oleh umat lain. Sebab, kemuliaan dan gensi itu adalah milik Allah, rasul-Nya, serta orang-orang beriman (al-Munafiqun: 8 ). Tanpa semangat jihad, mereka takkan lebih dari sekedar umat ritual yang nampak soleh, tetapi tanpa gengsi, bahkan boleh jadi inferior terhadap umat atau bangsa lain.
Semangat inilah yang hendak dirusak dan dilumpuhkan oleh pemikiran dan budaya asing, demi lestarinya pengaruh mereka terhadap negeri-negeri muslim. Kaum Muslimin dijadikan target invasi pemikiran dan budaya (al-gazwul fikri). Mereka dicuri waktunya dengan berbagai sarana dan acara hiburan yang menyuguhkan budaya santai, lembek, dan pornografis. Maka, bersemailah di bumi Kaum Muslimin hiburan-hiburan yang berselera rendah, sikap basa-basi, asal bapak senang (ABS) serta budaya minta petunjuk, memudarnya kejantanan kaum pria yang bergaya wanita, dan akhirnya membentuk sikap al wahn, yakni cinta dunia dan takut mati.
Profil seorang muslim adalah insan yang ramah, tetapi bukan lemah; serius, tetapi familiar dan tidak kaku; perhitungan, tetapi bukan pelit; penyantun, tetapi mengajak bertanggung jawab; disipilin, tetapi pengertian, mendidik, dan mengayomi; kreatif dan enerjik, tetapi hanya untuk kebaikan; selalu memikirkan prestasi, tetapi bukan untuk dirinya sendiri. Kesenangannya adalah
meminta maaf dan memberi bantuan dan kepandaiannya adalah dalam rangka mengakui karunia Allah dan menghargai jasa  atau prestasi orang lain.
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada junjungan alam, Nabi Muhammad saw., keluarga, sahabat, serta para mujahidin di segala bidang sepanjang zaman. Berkat prestasi kerja mereka itulah, peta kejayaan ummat dapat diukurkan. Semoga kita mampu bergabung dalam barisan mereka. Aamin.