PSIKOLOGI INDUSTRI DAN
ORGANISASI
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Nama
:
Dicki Panji Wicaksono 201110230311293
Dwi Marta Viki S 201110230311277
Akhmad Musa AK 201110230311252
M.Ferdiansyah 201110230311259
Aprilia Suwandhi 201110230311289
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
MALANG
2013
Psikologi Islam Industri dan
Organisasi Terapan
Mukaddimah
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Qur’an,
dan Dia tidak membuat sesuatu yang tidak lurus di dalamnya. Sebagai bimbingan
yang lurus, untuk memperingatkan (manusia) akan siksa yang pedih dari Allah dan
memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman, yang mengerjakan amal
soleh, bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik. Mereka (akan menikmati
kehidupan sorga) kekal di dalamnya untuk selamanya”(al-Kahfi:1-3)
Al-Qur’an adalah pedoman begi manusia yang ingin memilih jalan kebenaran
daripada jalan kesesatan (al-Baqarah
:185), pembimbing (guidance) untuk membina ketakwaan (al-Baqarah: 2). Namun, hidup yang
taqwa bukan semata harapan atau angan-angan untuk meraih kebahagiaan, tetapi
merupakan medan dan cara kerja yang sebaik-baiknya untuk merealisasikan
kehidupan yang berjaya di dunia dan memperoleh balasan yang lebih baik lagi di
akhirat (an-Nahl: 97).
Bekerja adalah kodrat hidup, baik kehidupan spiritual, intelektual, fisik
biologis, maupun kehidupan individual dan sosial dalam berbagai bidang (al-Mulk: 2). Seseorang layak untuk
mendapatkan predikat yang terpuji seperti potensial, aktif, dinamis, produktif
atau profesional, semata-mata karena prestasi kerjanya. Karena itu, agar
manusia benar-benar “hidup”, dalam kehidupan ini ia memerlukan ruh (spirit).
Untuk ini, Al Qur’an diturunkan sebagai “ruhan min amrina”, yakni
spirit hidup ciptaan Allah, sekaligus sebagai “nur” (cahaya) yang tak
kunjung padam, agar aktivitas hidup manusia tidak tersesat (asy-Syura: 52).
Pembahasan
Menurut Peter F. Druicker dalam buku Robert G. Owens, budaya organisasi adalah pokok penyelesaian masalah-masalah ekternal dan internal yang pelaksanaannya dilakukan secara konsisten oleh suatu kelompok yang kemudian mewariskan pada anggota-anggota baru sebagai cara ynag tepat untuk memahami, mamikirkan dan merasakan terhadap berbagai masalah.
Sedangkan di sisi lain, Phithi Sithi Amnuai dalam tulisannya How to Build a Corporation Culture dalam majalah Asia Manajer (September 1989) menyebutkan bahwa budaya organisasi adalah seperangkat asumsi dasar dan keyakinan yangdianut oleh anggota-anggota morganisasi, kemudian dikembangkan dan diwariskan guna mengatasi masalah-masalah adaptasi eksternal dan masalah integrasi internal.
Jenis-jenis budaya organisasi
1. Berdasarkan Proses
informasi
Robert E. Quinn dan Michael R. McGrath
(dalam buku Arie Indra Chandra) membagi budaya organisasi berdasarkan proses
informasi sebagai berikut
a.
Budaya Rasional
Dalam
budaya ini, proses informasi individual (kalrifikasi sasaran pertimbangan
logika, perangkat pengarahan) diasumsikan sebagai sarana abagi tujuan kinerja
yang ditunjukkan (efisiensi, produktifitas dan keuntungan atau dampak).
b.
Budaya Ideologis
Dalam
budaya ini, pemrosesan informasi intuitif (dari pengetahuan yang dalam,
pendapat dan inovasi) diasumsikan sebagai sarana bagi tujuan revitalisasi
(dukungan datri luar, perolehan sumber daya dan pertumbuhan).
c.
Budaya Konsensus
Dalam
budaya ini, pemrosesan informasi kolektif (diskusi, partisipatif dan konsensus)
diasumsikan untuk menjadi sarana bagi tujuan kohesi (iklim, moral dan kerjasama
kelompok).
d. Budaya Hierarkis
d. Budaya Hierarkis
Dalam
budaya ini, pemrosesan informasi formal (dokumetasi, komputasi dan evaluasi)
diasumsikan sebagai sarana bagi tujuan kesinambungan (stabilitas, kontrol dan
koordinasi).
2. Berdasarkan Tujuan
Talidzuduhu
Ndraha membagi budaya organisasi berdasarkan tujuannya, yaitu
a. Budaya organisasi Perusahaan
a. Budaya organisasi Perusahaan
b.
Budaya organisasi Publik
c.
Budaya organisasi Sosial
Pembentukan Budaya Organisasi
1. Unsur-unsur pembentuk Organisasi
Deal
& Kennedy dalam bukuhya Corporate Culture: The Roles and Ritual of
Corporate, membagi unsur penbentuk budaya organisasi sebagai berikut.
a. Lingkungan usaha
a. Lingkungan usaha
Kelangsungan
hidup suatu organisasi (perusahaan) ditentukan oleh kemampuan perusahaan
memberi tanggapan yang tepat terhadap peluang dan tantangan lingkungan, yang di
antaranya antara lain meliputi produk yang dihasilkan, pesaing, pelanggan,
teknologi pemasok, kebijakan pemerinhtah dan lain-lain.
b.
Nilai-nilai
Yaitu
keyakina dasar yang diahut oleh sebuah organisasi. Nilai-nilai inti yang dianut
bersasma oleh anggota organisasi antara lain dapat berupa slogan atau motto
yang dapat berfungsi sebagai
·
Jati diri
·
Harapan konsumen
c.
Pahlawan
Yaitu
tokoh yang dipandang berhasil mewujudkan nilai-nilai budaya dalam kehidupan
nyata. Pahlawasn bisa berasal dari pendiri perusahaan, manajer, kelompok
organisasi atau perorangan yang berhasil menciptakan nilai-nilai organisasi .
d.
Ritual
Stepen P.
Robbins medefinisikan ritual sebagai deretan berulang dari kegiatan yang
mengungkapkan dan memperkuat nilai-nilai utama organisasi tersebut.
e. Jaringan budaya
e. Jaringan budaya
Yaitu
jaringan komunikasi informal yang pada dasarnya merupakan aturan informasi
primer. Fungsinya menyalurkan infomasi dan melakukan interpretasi terhadap
informasi.
2. Proses pembentukan budaya organisasi
Secara
teoritis, proses bagaimana suatu perusahaan terbentuk telah dijelaskan oleh
Schein dalam bukunya Organizational Culture and Leadership. Menurut beliau,
terbentuknya suatu budaya organisasi dapat dianalisis dari tiga nilai sebagai
berikut.
a.
Teori Sociodinamic
Teori ini
menitikberatkan pengamatan secara detail mengenai kelompok pelatihan, kelompok
terapi dan kelompok kerja yang mempunyai proses interpersonal dan emosional
guna membantu menjelaskan apa yang dimaksud dengan share dalam pandangan yang
sama dari suatu masalah dan mengembangkan share tersebut.
b.
Teori Kepemimpinan
Teori ini
menekankan hubungan atara pemimpin dengan kelompok dan efek personalitas dan
gaya kepemimpinan terhadap formasi kelompok yang sangat relevan dengan
pengertian bagaimana budaya organisasi tersebut terbentuk.
c.
Teori Perkembangan (Learning Theory)
Teori ini
menekankan pada informasi tentang bagaimana kelompok mempelajari kognitif, perasaan
dan penilaian, yang secara struktural dibagi menjadi dua tipe pembelajaran.
· Situasi penyelesaian masalah secara positif
· Situasi penyelesaian masalah secara positif
·
Situasi menghindari kegelisahan
Proses
pembelajaran dimaksudkan untuk pewarisan budaya organisasi kepada anggota baru dan
organisasi.Keyakinan Dan Nilai-Nilai Budaya Organisasi Saskhein dan Kisher (dalam buku
Jeny Eoh, 2001) mengemukakan bahwa budaya organisasi terdiri dari dua komponen,
yaitu:
1. Nilai (value), yaitu sesuatu yang diyakini oleh warga organisasi untuk mengetahui apa yang benar dan apa yang salah.
1. Nilai (value), yaitu sesuatu yang diyakini oleh warga organisasi untuk mengetahui apa yang benar dan apa yang salah.
2.
Keyakinan (belief), yaitu sikap tentang cara bagaimana seharusnya bekerja dalam
organisasi.
Sedangkan Davis (dalam buku Jeny Eoh, 2001) mengemukakan bahwa dalam budaya perusahaan terdapat dua macam keyakinan, yaitu
1.
Keyakinan bimbingan (guiding belief), yaitu menentukan visi, misi dan
nilai-nilai dasar organisasi.
2. Keyakianan harian, yaitu mencirikan cara kegiatan dalam organisasi harus dilakukan: cara berkomunikasi, pengambilan keputusan dan cara kotrol dilakukan.
2. Keyakianan harian, yaitu mencirikan cara kegiatan dalam organisasi harus dilakukan: cara berkomunikasi, pengambilan keputusan dan cara kotrol dilakukan.
Nilai dasar budaya organisasi
Nilai
yang dianut seseorang mempengaruhi tingkah lakunya. Dan dalam sebuah
organisasi, nilai yang dianut seorang anggota akan mempengaruhi tingkah lakunya
dalam berinteraksi dengan anggota lain maupun dalam melaksanakan tugas
Miller
(1987) dalam bukunya Manajemen era baru: Beberapa pandangan mengenai budaya
perusahaan, menyatakan bahwa dalam perusahaan terdapat dua nilai, yaitu:
1. Nilai Utama (primer)
Nilai
utama ini berkaitan dengan dengan inovasi besar, ketaatan dan produktifitas.
Nilai utama terdiri atas delapan unsur:
î
Asas tujuan
î
Asas consensus
î
Asas Keunggulan
î
Asas Kesatuan
î
Asas prestasi
î
Asas Empirisme
î
Asas keakraban
î
Asas integritas
2.
Nilai Sekunder
Miller
menyebut nilai sekunder sebagai sifat-sifat variabel bisnis dan membaginya
menjadi enam unsur sebagai berikut:
î
Terfokus pada pelanggan/terfokus pada produk
î
Pengendalian yang disiplin/pengendalian yang hilang
î
Kewiraswastaan yang telah terbukti benar
î
Pengambilan keputusan yang cepat/pengambilan keputusan yang lambat
î
Fokus jangka pendek/fokus jangka panjang
î
Teknologi canggih/sederhana
Keterkaitan antara pembagian kerja,
departemen, hierarki, dan koordinasi
a. Pengembangan kerja (division of work)
Pengembangan krja adalah upaya untuk menyederhanakan dari
keseluruhn kegiatan dan pekerjaan (yang telah disusun dalam proses perencanaan)
yang mungkin saja bersifat kompleks menjadi lebih sederhana dan spesifik dimana
setiap orang akan ditempatkan dan ditugaskan untuk setiap kegiatan yang
sederhana dan spesifik tersebut.[3]
Kadangkala pembagian kerja dinamakan dengan pembagian tenaga
kerja, namun lebih sering digunakan pembagian kerja karena yang dibagi-bagi
adalah pekerjaannya, bukan orangnya.
1) Keuntungan dari spesialisasi pekerjaan
Pada umumnya produktifitas akan dapat diperoleh denga adanya
spesialisasi kerja, misalnya dalam pendidikan, ilmu pengetahuan dan mengapa hal
ini terjadi adalah karena tidak seorangpunyang dapat mengerjakan semua
pekerjaan dengan hasil yang sama tingginya.
2) Spesialisasi dan kepuasan pekerjaan
Spesialisasi kerja memang lebih meningkatkan produktifitas
terutama pada pekerjaan yang telah dipecah dalam satu egiatan kecil yang rutin.
Tetapi semakin spesifik akan membuat seseorang seperti mesin dan tidak
manusiawi dan akan memberi dampak kepuasan kerja mereka.
Ada 2 dimensi yang menunjukkan suatu
spesialisasi pekerjaan yaitu:
1) Job depth (kedalam pekerjaan)
Menunjukkan seberapa jauh seseorang diberi wewenang untuk
mengontrol pekerjaannya, misalnya ada pilihan dalam kecepatan dan pilihan cara
mengerjakannya.
2) Job scope (perluasan kerja)
Menunjukkan seberapa banyak seseorang diberi tugas dalam
bekerja.
Contoh dari pembagian kerja misalnya pembagian tugas dalam
bisnis restoran, pembagian kerja dapat berupa pembagian kerja untuk bagian
dapur, pelayanan pelanggan di meja makan, asir, dan lain sebagainya
b. Pengelompokan pekerjaan (Departementalization)
Setelah pekerjaan dispesifikkan, maka kemudian
pekerjaan-pekerjaan tersebut dikelompokkan berdasarkan kriteria tertentu yang
sejenis.
Pengelompokkan pekerjaan atau departementalisasi pada dasarnya
adalah proses pengelompokkan dan penanaman bagian atau kelompok pekerjaan
berdasarkan kriteria tertentu.
Sebagai contoh, untuk bisnis restoran: pencatatan menu,
pemberitahuan menu kepada bagian dapur, hingga pengiriman makanan dari bagian
dapur kepada pelanggan dimeja makan dapat dikelompokkan menjadi satu departemen
tertentu, katakanlah bagian pelayan.
c. Penentuan relasi antar bagian dalam organisasi
(Hierarki)
Hierarchy adalahproses penentuan relasi antar bagian dalam
organisasi, baik secara vertical maupun horizontal.
Terdapat 2 konsep penting dalam hierarcy,
yaitu:
1) Span of managemen control atau span of control
Span of manageman control terkait dengan jumlah orang atau
bagian di bawah suatu departemen yang akan bertanggung jawab kepada departemen
atau bagian tertentu.
2) Chain of command
Chain of command juga menunjukkan garis perintaha dalam sebuah
organisasi dari hierarki yang paling tinggi misalnya hingga hierarki yang
paling rendah. Chain of command juga menjelaskan bagaimana batasan kewenangan
dibuat dan siapa dan bagian mana yang akan melaporkan ke bagian mana.
d. Koordinasi (Coordination)
Koordinasi adalah proses dalam mengintegrasikan seluruh
aktifitas dari berbagai departemen atau bagian dalam organisasi agar tujuan
organisasi dapat tercapai secara efektif.
Posisi Kerja dalam Kitabullah
Al-Qur’an menyebut kerja dengan berbagai terminologi. Al-Qur’an menyebutnya
sebagai “amalun”, terdapat tidak kurang dari 260 musytaqqat
(derivatnya), mencakup pekerjaan lahiriah dan batiniah. Disebut “fi’lun” dalam
sekitar 99 derivatnya, dengan konotasi pada pekerjaan lahiriah. Disebut dengan
kata “shun’un”, tidak kurang dari 17 derivat, dengan penekanan makna
pada pekerjaan yang menghasilkan keluaran (output) yang bersifat fisik.
Disebut juga dengan kata “taqdimun”, dalam 16 derivatnya, yang
mempunyai penekanan makna pada investasi untuk kebahagiaan hari esok.
Pekerjaan yang dicintai Allah SWT adalah yang berkualitas. Untuk
menjelaskannya, Al Qur’an mempergunakan empat istilah: “Amal Shalih”, tak
kurang dari 77 kali; ‘amal yang “Ihsan”, lebih dari 20 kali; ‘amal yang
“Itqan”, disebut 1 kali; dan ”al-Birr”, disebut 6 kali.
Pengungkapannya kadang dengan bahasa perintah, kadang dengan bahasa anjuran.
Pada sisi lain, dijelaskan juga pekerjaan yang buruk dengan akibatnya yang
buruk pula dalam beberapa istilah yang bervariasi. Sebagai contoh, disebutnya
sebagai perbuatan syaitan (al-Maidah:
90, al-Qashash:15), perbuatan yang sia-sia (Ali Imran: 22, al-Furqaan: 23), pekerjaan
yang bercampur dengan keburukan (at-Taubah:102),
pekerjaan kamuflase yang nampak baik, tetapi isinya buruk (an-Naml:4, Fusshilat: 25).
Al-Qur’an
sebagai pedoman kerja kebaikan, kerja ibadah, kerja taqwa atau amal shalih,
memandang kerja sebagai kodrat hidup. Al-Qur’an menegaskan bahwa hidup ini
untuk ibadah (adz-Dzariat: 56). Maka, kerja dengan sendirinya adalah ibadah, dan ibadah hanya dapat
direalisasikan dengan kerja dalam segala manifestasinya (al-Hajj: 77-78, al-Baqarah:177).
Jika
kerja adalah ibadah dan status hukum ibadah pada dasarnya adalah wajib, maka
status hukum bekerja pada dasarnya juga wajib. Kewajiban ini pada dasarnya
bersifat individual, atau fardhu ‘ain, yang tidak bisa diwakilkan kepada
orang lain. Hal ini berhubungan langsung dengan pertanggung jawaban amal yang
juga bersifat individual, dimana individulah yang kelak akan mempertanggung
jawabkan amal masing-masing. Untuk pekerjaan yang langsung memasuki wilayah
kepentingan umum, kewajiban menunaikannya bersifat kolektif atau sosial, yang
disebut dengan fardhu kifayah, sehingga lebih menjamin terealisasikannya
kepentingan umum tersebut. Namun, posisi individu dalam konteks kewajiban
sosial ini tetap sentral. Setiap orang wajib memberikan kontribusi dan
partisipasinya sesuai kapasitas masing-masing, dan tidak ada toleransi hingga
tercapai tingkat kecukupan (kifayah) dalam ukuran kepentingan umum.
Syarat
pokok agar setiap aktivitas kita bernilai ibadah ada dua, yaitu sebagai
berikut.
Pertama, Ikhlas, yakni mempunyai motivasi yang benar, yaitu untuk berbuat
hal yang baik yang berguna bagi kehidupan dan dibenarkan oleh agama. Dengan
proyeksi atau tujuan akhir meraih mardhatillah (al-Baqarah:207 dan 265).
Kedua, shawab (benar), yaitu sepenuhnya sesuai dengan tuntunan yang
diajarkan oleh agama melalui Rasulullah saw untuk pekerjaan ubudiyah (ibadah
khusus), dan tidak bertentangan dengan suatu ketentuan agama dalam hal muamalat
(ibadah umum). Ketentuan ini sesuai dengan pesan Al-Qur’an (Ali Imran: 31, al-Hasyr:10).
Ketika kita memilih pekerjaan, maka haruslah didasarkan pada pertimbangan
moral, apakah pekerjaan itu baik (amal shalih) atau tidak. Islam memuliakan
setiap pekerjaan yang baik, tanpa mendiskriminasikannya, apakah itu pekerjaan
otak atau otot, pekerjaan halus atau kasar, yang penting dapat
dipertanggungjawabkan secara moral di hadapan Allah. Pekerjaan itu haruslah
tidak bertentangan dengan agama, berguna secara fitrah kemanusiaan untuk
dirinya, dan memberi dampak positif secara sosial dan kultural bagi
masyarakatnya. Karena itu, tangga seleksi dan skala prioritas dimulai dengan
pekerjaan yang manfaatnya bersifat primer, kemudian yang mempunyai manfaat
pendukung, dan terakhir yang bernilai guna sebagai pelengkap.
B. Kualitas
Etik Kerja
Al-Qur’an menanamkan kesadaran bahwa dengan bekerja berarti kita merealisasikan
fungsi kehambaan kita kepada Allah, dan menempuh jalan menuju ridha-Nya,
mengangkat harga diri, meningkatkan taraf hidup, dan memberi manfaat kepada
sesama, bahkan kepada makhluk lain. Dengan tertanamnya kesadaran ini, seorang
muslim atau muslimah akan berusaha mengisi setiap ruang dan waktunya hanya
dengan aktivitas yang berguna. Semboyangnya adalah “tiada waktu tanpa kerja,
tiada waktu tanpa amal.’ Adapun agar nilai ibadahnya tidak luntur,
maka perangkat kualitas etik kerja yang Islami harus diperhatikan.
Berikut
ini adalah kualitas etik kerja yang terpenting untuk dihayati.
1. Ash-Shalah (Baik dan
Bermanfaat)
Islam
hanya memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan yang baik dan bermanfaat bagi
kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi nilai tambah dan mengangkat
derajat manusia baik secara individu maupun kelompok. “Dan masing-masing
orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya.”
(al-An’am: 132)
Ini
adalah pesan iman yang membawa manusia kepada orientasi nilai dan kualitas. Al
Qur’an menggandengkan iman dengan amal soleh sebanyak 77 kali. Pekerjaan yang
standar adalah pekerjaan yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat, secara
material dan moral-spiritual. Tolok ukurnya adalah pesan syariah yang
semata-mata merupakan rahmat bagi manusia. Jika tidak diketahui adanya pesan
khusus dari agama, maka seseorang harus memperhatikan pengakuan umum bahwa
sesuatu itu bermanfaat, dan berkonsultasi kepada orang yang lebih tahu. Jika
hal ini pun tidak dilakukan, minimal kembali kepada pertimbangan akal sehat
yang didukung secara nurani yang sejuk, lebih-lebih jika dilakukan melalui
media shalat meminta petunjuk (istikharah). Dengan prosedur ini, seorang
muslim tidak perlu bingung atau ragu dalam memilih suatu pekerjaan.
2. Al-Itqan (Kemantapan
atau perfectness)
Kualitas
kerja yang itqan atau perfect merupakan sifat pekerjaan Tuhan
(baca: Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang islami (an-Naml:
88). Rahmat Allah telah dijanjikan bagi setiap orang yang bekerja secara
itqan, yakni mencapai standar ideal secara teknis. Untuk itu, diperlukan
dukungan pengetahuan dan skill yang optimal. Dalam konteks ini, Islam mewajibkan
umatnya agar terus menambah atau mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih.
Suatu keterampilan yang sudah dimiliki dapat saja hilang, akibat meninggalkan
latihan, padahal manfaatnya besar untuk masyarakat. Karena itu, melepas atau
menterlantarkan ketrampilan tersebut termasuk perbuatan dosa. Konsep itqan
memberikan penilaian lebih terhadap hasil pekerjaan yang sedikit atau terbatas,
tetapi berkualitas, daripada output yang banyak, tetapi kurang bermutu (al-Baqarah:
263).
3. Al-Ihsan (Melakukan
yang Terbaik atau Lebih Baik Lagi)
Kualitas
ihsan mempunyai dua makna dan memberikan dua pesan, yaitu sebagai
berikut.
Pertama,
ihsan
berarti ‘yang terbaik’ dari yang dapat dilakukan.
Dengan
makna pertama ini, maka pengertian ihsan sama dengan ‘itqan’. Pesan yang
dikandungnya ialah agar setiap muslim mempunyai komitmen terhadap dirinya untuk
berbuat yang terbaik dalam segala hal yang ia kerjakan.
Kedua ihsan mempunyai makna ‘lebih baik’
dari prestasi atau kualitas pekerjaan sebelumnya. Makna ini memberi pesan
peningkatan yang terus-menerus, seiring dengan bertambahnya pengetahuan,
pengalaman, waktu, dan sumber daya lainnya. Adalah suatu kerugian jika
prestasi kerja hari ini menurun dari hari kemarin, sebagaimana dinyatakan dalam
sebuah hadits Nabi saw. Keharusan berbuat yang lebih baik juga berlaku ketika
seorang muslim membalas jasa atau kebaikan orang lain. Bahkan, idealnya ia
tetap berbuat yang lebih baik, hatta ketika membalas keburukan orang
lain (Fusshilat :34, dan an Naml: 125)
Semangat
kerja yang ihsan ini akan dimiliki manakala seseorang bekerja dengan
semangat ibadah, dan dengan kesadaran bahwa dirinya sedang dilihat oleh Allah
SWT.
4. Al-Mujahadah (Kerja
Keras dan Optimal)
Dalam
banyak ayatnya, Al-Qur’an meletakkan kulaitas mujahadah dalam bekerja
pada konteks manfaatnya, yaitu untuk kebaikan manusia sendiri, dan
agar nilai guna dari hasil kerjanya semakin bertambah. (Ali
Imran: 142, al-Maidah:
35,
al-Hajj: 77, al-Furqan: 25, dan al-Ankabut: 69).
Mujahadah
dalam maknanya yang luas seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah ”istifragh
ma fil wus’i”, yakni mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam
merealisasikan setiap pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai
mobilisasi serta optimalisasi sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah
menyediakan fasilitas segala sumber daya yang diperlukan melalui hukum ‘taskhir’,
yakni menundukkan seluruh isi langit dan bumi untuk manusia (Ibrahim: 32-33).
Tinggal peran manusia sendiri dalam memobilisasi serta mendaya gunakannya
secara optimal, dalam rangka melaksanakan apa yang Allah ridhai.
Bermujahadah
atau bekerja dengan semangat jihad (ruhul jihad) menjadi kewajiban
setiap muslim dalam rangka tawakkal sebelum menyerahkan (tafwidh)
hasil akhirnya pada keputusan Allah (Ali Imran: 159, Hud: 133).
5. Tanafus dan Ta’awun
(Berkompetisi dan Tolong-menolong)
Al-Qur’an
dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam kualitas amal solih. Pesan
persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan Qur’ani yang bersifat “amar”
atau perintah. Ada perintah “fastabiqul khairat” (maka,
berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan) (al-Baqarah: 108).
Begitu pula perintah “wasari’u ilaa magfirain min Rabbikum wajannah”
`bersegeralah lamu sekalian menuju ampunan Rabbmu dan surga` Jalannya
adalah melalui kekuatan infaq, pengendalian emosi, pemberian maaf, berbuat
kebajikan, dan bersegera bertaubat kepada Allah (Ali Imran 133-135).
Kita dapati pula dalam ungkapan “tanafus” untuk menjadi hamba yang gemar
berbuat kebajikan, sehingga berhak mendapatkan surga, tempat segala kenikmatan (al-Muthaffifin:
22-26). Dinyatakan pula dalam konteks persaingan dan ketaqwaan, sebab yang
paling mulia dalam pandangan Allah adalah insan yang paling taqwa (al Hujurat:
13). Semua ini menyuratkan dan menyiratkan etos persaingan dalam kualitas
kerja.
Oleh
karena dasar semangat dalam kompetisi islami adalah ketaatan kepada Allah dan
ibadah serta amal shalih, maka wajah persaingan itu tidaklah seram; saling
mengalahkan atau mengorbankan. Akan tetapi, untuk saling membantu (ta’awun).
Dengan demikian, obyek kompetisi dan kooperasi tidak berbeda, yaitu kebaikan
dalam garis horizontal dan ketaqwaan dalam garis vertikal (al-Maidah: 3), sehingga
orang yang lebih banyak membantu dimungkinkan amalnya lebih banyak serta lebih
baik, dan karenanya, ia mengungguli score kebajikan yang diraih
saudaranya.
6. Mencermati Nilai Waktu
Keuntungan
atau pun kerugian manusia banyak ditentukan oleh sikapnya terhadap waktu. Sikap
imani adalah sikap yang menghargai waktu sebagai karunia Ilahi yang wajib
disyukuri. Hal ini dilakukan dengan cara mengisinya dengan amal solih,
sekaligus waktu itu pun merupakan amanat yang tidak boleh disia-siakan.
Sebaliknya, sikap ingkar adalah cenderung mengutuk waktu dan menyia-nyiakannya.
Waktu adalah sumpah Allah dalam beberapa ayat kitab suci-Nya yang mengaitkannya
dengan nasib baik atau buruk yang akan menimpa manusia, akibat tingkah lakunya
sendiri. Semua macam pekerjaan ubudiyah (ibadah vertikal) telah
ditentukan waktunya dan disesuaikan dengan kesibukan dalam hidup ini. Kemudian,
terpulang kepada manusia itu sendiri: apakah mau melaksanakannya atau tidak.
Mengutip
al-Qardhawi dalam bukunya “Qimatul waqti fil Islam”: waktu adalah hidup
itu sendiri, maka jangan sekali-kali engkau sia-siakan, sedetik pun dari
waktumu untuk hal-hal yang tidak berfaidah. Setiap orang akan mempertanggung
jawabkan usianya yang tidak lain adalah rangkaian dari waktu. Sikap negatif
terhadap waktu niscaya membawa kerugian, seperti gemar menangguhkan atau
mengukur waktu, yang berarti menghilangkan kesempatan. Namun, kemudian ia
mengkambing hitamkan waktu saat ia merugi, sehingga tidak punya kesempatan
untuk memperbaiki kekeliruan.
Jika
kita melihat mengenai kaitan waktu dan prestasi kerja, maka ada baiknya dikutip
petikan surat Khalifah Umar bin Khatthab kepada Gubernur Abu
Musa al-Asy’ari ra,
sebagaimana dituturkan oleh Abu Ubaid, ”Amma ba’du. Ketahuilah, sesungguhnya
kekuatan itu terletak pada prestasi kerja. Oleh karena itu, janganlah engkau
tangguhkan pekerjaan hari ini hingga esok, karena pekerjaanmu akan menumpuk,
sehingga kamu tidak tahu lagi mana yang harus dikerjakan, dan akhirnya semua
terbengkalai.” (Kitab al-Amwal, 10)
Penutup
Jihad Sebagai Etos
Ruhul
jihad dalam bekerja mempersyaratkan mobilisasi dan optimalisasi pemberdayaan
segenap potensi di jalan Allah untuk kebaikan setiap orang. Ruhul mujahadah
menuntut kesabaran dan kontinyuitas kerja, bahkan menuntut tingkat kesabaran
ekstra yang mampu mengungguli kesabaran para pesaing. Semua itu didukung
dengan ketekunan untuk murabathah, yakni pantang meninggalkan pekerjaan
sebelum selesai (Ali Imran: 200). Ruhul jihad menolak setiap bentuk
ketidakcermatan dalam memanajemen waktu yang begitu berharga; ketidak
profesionalan dalam mengelola sumber daya yang demikian mahal. Dengan tegas
pula, ia menolak setiap perasaan dan sikap lemah, malas dan kurang serius,
mengandalkan pada kemampuan orang lain untuk menyelesaikan pekerjaan,
lebih-lebih mencatut prestasi orang lain sebagai hasil karyanya. Sebab, cara
ini analog dengan memakan harta orang lain secara batil (al Baqarah: 188 )
Secara
teoritis, Kaum Muslimin mempunyai etos kerja yang demikian kuat dan mendasar,
karena ia bermuara pada iman, berhubungan langsung dengan kekuatan Allah, dan
merupakan persoalan hidup dan mati. Akan tetapi, tidak diingkari kalau
kenyataannya masih ‘jauh panggang dari pada api’. Sebaliknya, Kaum
Muslimin belum tahu kalau mereka itu mempunyai kekuatan etos kerja yang sangat
dahsyat, dan ketika mereka melihat prestasi suatu bangsa atau umat lain,
sebagian orang Islam salut dan terpana dengan etos kerja mereka, dan kadang
sambil bertanya dengan agak sinis: Adakah etos kerja dalam Islam?
Maka,
di sinilah Kaum Muslimin harus kembali kepada Islam secara benar dan mengambil
semangat atau ‘apinya’. Karena, sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Islam
adalah pangkal segala urusan hidup, tiang pancangnya shalat, dan ujung
tombaknya adalah jihad.” (H.R.Thabrani)
Dengan
ruhul jihad, setiap muslim akan mampu mengukir prestasi dengan penuh
kegairahan, kemudian secara pasti akan mengembalikan ‘izzah atau harga
dirinya, sehingga disegani oleh umat lain. Sebab, kemuliaan dan gensi itu
adalah milik Allah, rasul-Nya, serta orang-orang beriman (al-Munafiqun: 8 ).
Tanpa semangat jihad, mereka takkan lebih dari sekedar umat ritual yang nampak
soleh, tetapi tanpa gengsi, bahkan boleh jadi inferior terhadap umat
atau bangsa lain.
Semangat
inilah yang hendak dirusak dan dilumpuhkan oleh pemikiran dan budaya asing,
demi lestarinya pengaruh mereka terhadap negeri-negeri muslim. Kaum Muslimin
dijadikan target invasi pemikiran dan budaya (al-gazwul fikri). Mereka
dicuri waktunya dengan berbagai sarana dan acara hiburan yang menyuguhkan
budaya santai, lembek, dan pornografis. Maka, bersemailah di bumi Kaum Muslimin
hiburan-hiburan yang berselera rendah, sikap basa-basi, asal bapak senang (ABS)
serta budaya minta petunjuk, memudarnya kejantanan kaum pria yang bergaya
wanita, dan akhirnya membentuk sikap al wahn, yakni cinta dunia dan
takut mati.
Profil
seorang muslim adalah insan yang ramah, tetapi bukan lemah; serius, tetapi
familiar dan tidak kaku; perhitungan, tetapi bukan pelit; penyantun, tetapi
mengajak bertanggung jawab; disipilin, tetapi pengertian, mendidik, dan mengayomi;
kreatif dan enerjik, tetapi hanya untuk kebaikan; selalu memikirkan prestasi,
tetapi bukan untuk dirinya sendiri. Kesenangannya adalah
meminta
maaf dan memberi bantuan dan kepandaiannya adalah dalam rangka mengakui karunia
Allah dan menghargai jasa atau prestasi orang lain.
Shalawat
serta salam semoga tercurah kepada junjungan alam, Nabi Muhammad saw.,
keluarga, sahabat, serta para mujahidin di segala bidang sepanjang zaman.
Berkat prestasi kerja mereka itulah, peta kejayaan ummat dapat diukurkan. Semoga
kita mampu bergabung dalam barisan mereka. Aamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar